Kamis, 13 Januari 2011

Kesukaran Belajar

DEFINISI KESULITAN BELAJAR
Dalam berbagai literature psikologi, khususnya yang berkaitan dengan literature anak luar biasa, istilah anak berkesulitan belajar lebih sering disebut kelompok learning diabilities.
Badan Penasihat Nasional Penyandang Cacat Amerika Serikat mendefinisikan learning disability dalam rumusan berikut:
“ Specific learning disability” means a disorder in one or more of the basic psychological processes involved in understanding or in using language, spoken or written, which may manifest it self in an imperfect ability to listen, think, speak, read, write, spell, or to do mathematical calculations. The term include suchconditions as and developmental aphasia.The term does not include children who have learning problems which are primarily the result of visual, hearing, or motor handicaps, of mental retardation, or emotional disturbance, or of environmental, cultural, or economic disadavantage.
Definisi lain dikemukakan oleh Samuel A.Kirk (1971) bahwa Children listed under the caption of specific learning disabilities are children who cannot be grouped under the traditional categories of exceptional children, but who show significant retardation in learning to talk, or who do not develop normal visual or auditory perception, or who have great difficulty in learning to read, to spell, to write, or to make arithmetic calcualtions.
Haring (1974) menambahkan, “Learning disability is a behavioral deficit almost always associated with academic performance and that can be remediated by precise individual instruction programming”.
Definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas menunjukkan bahwa learning disability (ies) tidak digolongkan kedalam salah satu keluarbiasaan, melainkan merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori maupun ekspresif di dalam proses belajar. Kendatipun gangguan ini bisa terjadi di dalam berbagai tingkat kecerdasan, namun ‘kesulitan belajar’ lebih terkait dengan tingkat kecerdasan normal atau bahkan diatas normal. Anak-anak yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan berbahasa. Umumnya masalah ini nampak ketika anak mulai mempelajari mata pelajaran dasar seperti menulis, membaca, berhitung, dan mengeja.

FAKTOR PENYEBAB KESULITAN BELAJAR
A.    Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, internal dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis; sedangkan penyebab utama problem belajar (learning problems) adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat.
Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain adalah: (1) faktor genetik; (2) luka pada otak karena trauma fisik dan karena kekurangan oksigen; (3) biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat); (4) biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan); (5) pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam); (6) gizi yang tidak memadai; dan (7) pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Dari berbagao penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari yang tarafnya ringan hingga yang tarafnya berat.

B. Prinsip-prinsip Pembelajaran Anak Berkesulitan Belajar Menulis (Disgrafia)

1. Kesulitan Belajar Menulis
Pelajaran menulis mencakup menulis dengan tangan atau menulis permulaan, mengeja, dan menulis ekspresif.
a. Menulis dengan Tangan dan Menulis Permulaan
Sejak awal masuk sekolah anak harus belajar menulis tangan karena kemampuan ini merupakan prasyarat bagi upaya belajar berbagai bidang studi yang lain. Kesulitan menulis dengan tangan tidak hanya menimbulkan masalah bagi anak tetapi juga guru. Tulisan yang tidak jelas misalnya, baik anak maupun guru tidak dapat membaca tulisan tersebut.
Menurut Lerner (1985: 402), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan anak menulis: (1) motorik; (2) perilaku; (3) persepsi; (4) memori; (5) kemampuan melaksanakan cross modal; (6) penggunaan tangan yang dominan; dan (7) kemampuan memahami instruksi. Anak yang perkembangan motoriknya belum matang atau mengalami gangguan, akan mengalami kesulitan dalam menulis; tulisannya tidak jelas, terputus-putus atau tidak mengikuti garis. Anak yang hiperaktif atau yang perhatiannya mudah teralihkan, dapat menyebabkan pekerjaannya terhambat, termasuk pekerjaan menulis. Anak yang terganggu persepsinya dapat menimbulkan kesulitan dalam menulis. Jika persepsi visualnya yang terganggu, anak mungkin akan sulit membedakan bentuk-bentuk huruf yang hampir sama seperti “d” dengan “b”, “p” dengan “q”, “h”, dengan “n” atau “m” dengan “w”. Jika persepsi auditorisnya yang terganggu, mungkin anak akan mengalami kesulitan untuk menulis kata-kata yang diuacpkan oleh guru. Gangguan memori juga dapat menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar menulis karena anak tidak mampu mengingat apa yang akan ditulis. Jika gangguan menyangkut ingatan visual, maka anak akan sulit untuk mengingat huruf atau kata; dan jika gangguan tersebut menyangkut memori auditori, anak akan mengalami kesulitan menulis kata-kata yang baru saja diucapkan guru. Kemampuan melaksanakan cross modal menyangkut kemampuan mentransfer dan mengorganisasikan fungsi visual ke motorik. Ketidakmampuan di bidang ini dapat menyebabkan anak mengalami gangguan koordinasi mata-tangan sehingga tulisan menjadi tidak jelas, terputus-putus, atau tidak mengikuti garis lurus. Anak yang tangan kirinya lebih dominan atau kidal tulisannya juga sering terbalik-balik dan kotor. Ketidakmampuan memahami instruksi dapat menyebabkan anak sering keliru menulis kata-kata yang sesuai dengan perintah guru.
Kesulitan belajar menulis sering disebut juga disgrafia. Kesulitan belajar menulis yang berat disebut juga agrafia. Disgrafia menunjuk pada adanya ketidakmampuan mengingat cara membuat huruf atau simbol-simbol matematika. Disgrafia sering dikaitkan dengan kesulitan belajar membaca atau disleksia karena kedua jenis kesulitan tersebut sesungguhnya saling terkait.
Kesulitan belajar menulis sering terkait dengan cara anak memegang pensil. Ada empat macam cara anak memegang pensil yang dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa anak berkesulitan belajar menulis, yaitu: (1) sudut pensil terlalu besar; (2) sudut pensil terlalu kecil; (3) menggenggam pensil (seperti mau meninju); dan (4) menyangkutkan pensil di tangan atau menyeret (Hornsby, 1984: 66). Jenis memegang pensil yang terakhir, menyeret pensil, adalah khas bagi anak kidal. Hingga saat ini ada dua pendapat tentang bentuk tulisan yang harus dipelajari pada awal anak belajar menulis. Ada yang berpendapat bahwa anak harus belajar huruf cetak dahulu sebelum belajar huruf sambung, dan ada pula yang menyarankan agar anak langsung belajar huruf sambung.
Menurut Hagin (Lovitt, 1989: 227), ada lima alasan perlunya anak diajar menulis huruf cetak lebih dahulu pada awal belajar menulis, yakni sebagai berikut:
1) huruf cetak lebih mudah dipelajari karena bentuknya sederhana;
2) buku-buku menggunakan huruf cetak sehingga anak-anak tidak perlu mengakomodasikan dua bentuk tulisan;
3) tulisan dengan huruf cetak lebih mudah dibaca daripada tulisan dengan huruf sambung;
4) huruf cetak digunakan untuk kehidupan sehari-hari seperti mengisi formulir atau berbagai dokumen; dan
5) kata-kata yang ditulis dengan huruf cetak lebih mudah dieja karena huruf-huruf tersebut berdiri sendiri-sendiri.
Para ahli yang menyarankan agar anak diajar menulis dengan huruf sambung lebih dahulu bertolak dari tiga alasan, sebagai berikut:
1) tulisan sambung memudahkan anak untuk mengenal kata-kata sebagai satu kesatuan;
2) tidak memungkinkan anak menulis terbalik-balik; dan
3) menulis dengan huruf sambung lebih cepat karena tidak ada gerakan pensil yang terhenti untuk tiap huruf.
Pengalaman menunjukkan, bahwa untuk menentukan jenis tulisan yang harus diajarkan pada saat anak belajar menulis permulaan bukan pekerjaan yang sederhana. Guru harus melakukan observasi cukup lama lebih dahulu untuk menentukan jenis tulisan yang pertama harus diajarkan. Jika hasil observasi menunjukkan bahwa anak telah memiliki kematangan motorik, memiliki koordinasi mata-tangan yang baik, memiliki kemampuan untuk melihat keseluruhan (gestalt) dengan baik, dan memiliki kemampuan analisis yang baik pula, maka guru dapat langsung mengajarkan huruf sambung kepada anak. Tetapi jika persyaratan-persyaratan seperti yang telah disebutkan belum terpenuhi, sebaiknya guru mengajarkan huruf cetak lebih dahulu kepada anak.
b. Mengeja
Dalam bahasa Indonesia belajar mengeja tidak sesulit dalam bahasa Inggris karena hampir tiap huruf memiliki bunyi sendiri-sendiri dan tidak banyak yang berubah jika huruf-huruf tersebut tersusun dalam bentuk kata-kata. Dalam bahasa Inggris bunyi huruf “o” akan berubah untuk kata “on”, “one”, “mother”, dan “to”. Dalam bahasa Indonesia bunyi huruf “o” akan sama untuk kata “orang”, “sawo”, dan “soto”. Meskipun bunyi huruf “o” untuk “orang” berbeda dari bunyi “o” untuk “lorong”.
Mengeja adalah suatu bidang yang tidak memungkinkan adanya kreativitas atau berpikir divergen. Hanya ada satu pola susunan huruf-huruf untuk suatu kata yang dapat dianggap benar, tidak ada kompromi. Sekelompok huruf yang sama akan memiliki makna yang berbeda jika disusun secara berbeda. Menurut Lerner (1985: 406), ada dua cara untuk mengajarkan mengeja, yaitu: (1) mengeja melalui pendekatan linguistik dan (2) mengeja melalui pendekatan kata-kata. Pendekatan linguistik menenkankan pada aturan-aturan dalam bahasa sehingga harus memperhatikan fonologi, morfologi, dan sintaksis atau pola-pola kata.
Kesulitan mengeja dapat terjadi jika anak tidak memiliki memori yang baik tentang huruf-huruf. Memori dapat berkaitan dengan memori visual untuk mengenal bentuk-bentuk huruf dan atau memori auditif untuk mengenal bunyi-bunyi huruf. Gangguan persepsi visual dapat menyebabkan anak sukar membedakan huruf-huruf yang bentuknya hampir sama, dan akibat dari kesukaran tersebut anak juga sukar untuk membedakan nama-nama huruf. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai anak yang mampu mengeja huruf-huruf dari suatu kata tetapi tidak mampu membaca rangkaian huruf yang membentuk kata. Hal semacam ini tentu saja bukan tergolong kesulitan mengeja tetapi sudah merupakan kesulitan membaca.
c. Menulis Ekspresif
Yang dimaksud dengan menulis ekspresif adalah mengungkapkan pikiran dan atau perasaan ke dalam suatu bentuk tulisan, sehingga dapat dipahami oleh orang lain yang sebahasa. Menulis ekspresif disebut juga mengarang atau komposisi (Hallahan, et al, 1985: 143).
Kesulitan menulis ekspresif mungkin yang paling banyak dialami, baik oleh anak maupun orang dewasa. Agar dapat menulis ekspresif seseorang harus lebih dahulu memiliki kemampuan berbahasa ujaran, membaca, mengeja, menulis dengan jelas, dan memahami berbagai aturan yang berlaku bagi suatu jenis penulisan. Menurut Roit dan McKeinze yang dikutip Lovitt (1989: 252), ada tiga alasan yang menyebabkan kesulitan menulis ekspresif. Pertama, meskipun pendekatan analisis tugas mungkin sesuai untuk pengajaran matematika, dan mungkin juga membaca, pendekatan ini tidak sesuai untuk mengembangkan kemampuan menulis. Kedua, meskipun anak memperoleh banyak latihan tentang elemen-elemen menulis, mereka tidak memperoleh kesempatan yang cukup untuk menulis ekspresif. Ketiga, karena anak berkesulitan belajar kurang memiliki keterampilan metakognitif bila dibandingkan dengan anak yang tidak berkesulitan belajar.
Berdasarkan tiga alasan tersebut, Roit dan McKenzie mengemukakan tiga saran dalam menyusun program pengajaran menulis ekspresif, sebagai berikut:
1) guru hendaknya sensitif terhadap akibat sikap negatif anak berkesulitan belajar terhadap menulis. Guru hendaknya hendaknya juga membantu anak agar mereka menyadari bahwa menulis. Guru hendaknya juga membantu anak agar mereka menyadari bahwa menulis atau mengarang merupakan sesuatu yang menuntut keaktifan, proses eksploratoris, dan pengorganisian pikiran.
2) Guru hendaknya menyusun suatu jadwal menulis dalam situasi dan konteks yang bervariasi untuk membantu anak dalam membuat generalisasi.
3) Guru hendaknya menggunakan aktivitas yang berorientasi pada upaya membangkitkan rasa ingin tahu, semangat, prediksi dan sebagainya.
Dalam menyusun rancangan pembelajaran menulis ekspresif bagi anak berkesulitan belajar maupun yang tidak berkesulitan belajar, Hansen yang dikutip Lovitt (1989: 251), menyarankan agar mencakup hal-hal berikut:
1) menulis perintah dan pemberitahuan;
2) menulis laporan tentang artikel atau cerita;
3) merangkum bacaan, pembicaraan, laporan tertulis, dan diskusi kelas;
4) menulis pengalaman pribadi;
5) menulis karangan imajinatif;
6) menulis surat untuk tujuan sosial dan bisnis;
7) menulis untuk majalah atau koran sekolah;
8) menulis untuk mengorganisasikan dan mengembangkan ide; dan
9) menulis peringatan untuk diri sendiri dan orang lain.
2. Assesmen Kesulitan Belajar Menulis
Ada dua jenis assesmen yang seharusnya digunakan untuk mengetahui kesulitan belajar menulis, yaitu assesmen formal dan informal. Di negara kita, assesmen formal untuk kesulitan menulis boleh dikatakan belum dikembangkan. Ada dua penyebab assesmen formal tersebut belum dikembangkan. Pertama, kajian tentang kesulitan belajar itu sendiri masih berada pada tahap permulaan. Kedua, melakukan adaptasi berbagai instrumen assesmen dari negara lain yang telah mengembangkan.
a. Assesmen Kesulitan Menulis dengan Tangan (Menulis Permulaan)
Untuk mengetahui apakah anak mengalami kesulitan menulis tangan, guru dapat melakukan observasi terhadap berbagai kemampuan sebagai berikut:
1) menulis dari kiri ke kanan;
2) memegang pensil dengan benar;
3) menulis nama panggilannya sendiri;
4) menulis huruf-huruf;
5) menyalin kata-kata dari papan tulis ke buku atau ke kertas; dan
6) menulis pada garis yang tepat.

b. Assesmen Kesulitan Mengeja
Untuk mengetahui kemampuan anak dalam mengeja dapat dilihat adanya berbagai kesalahan pada tulisan mereka. Adapun berbagai kesalahan yang sering dilakukan oleh anak-anak dalam mengeja, adalah:
1) pengurangan huruf (bekerja ditulis bekrja)
2) mencerminkan dialek (sapi ditulis sampi)
3) mencerminkan kesalahan ucap (namun ditulis nanum)
4) pembalikan huruf dalam kata (ibu ditulis ubi)
5) pembalikan konsonan (air ditulis ari)
6) pembalikan konsonan atau vokal (berjalan ditulis bejralan)
7) pembalikan suku kata (laba ditulis bala).
c. Assesmen Kesulitan Menulis Ekspresif
Untuk mengetahui kemampuan menulis ekspresif anak-anak SD, Johnson yang dikutip Lovitt (1989: 254) telah mengembangkan instrumen informal yang meminta anak-anak menuliskan suatu cerita yang mencakup bagian permulaan, pertengahan, dan akhir. Berdasarkan tulisan tersebut, guru melakukan evaluasi berdasarkan:
1) panjang karangan;
2) ejaan, tanda baca dan tata bahasa;
3) kematangan dan keabstrakan tema;
4) bentuk tulisan tangan dan huruf; dan
5) panjang kalimat dan perkembangan perbendaharaan kata.
Poteet yang dikutip Lovitt (1989: 255) juga mengembangkan instrumen assesmen kemampuan menulis ekspresif. Instrumen yang berbentuk daftar cek tersebut mencakup: (1) keindahan tulisan; (2) ejaan; (3) tata bahasa; dan (4) ideasi.


3. Remedial Pembelajaran Kesulitan Belajar Menulis
Ada tiga jenis remedial pembelajaran kesulitan belajar menulis, yaitu: (1) remedial menulis permulaan dan menulis dengan tangan; (2) remedial mengeja; dan (3) remedial menulis ekspresif.
a. Remedial Menulis Permulaan atau Menulis dengan Tangan
Bermacam aktivitas yang menurut Lerner (1988: 422) dapat digunakan untuk membantu anak berkesulitan belajar menulis dengan tangan, seperti dikemukakan berikut ini.
1) Aktivitas menggunakan papan tulis. Aktivitas ini dilakukan sebelum pelajaran menulis yang sesungguhnya. Kepada anak disediakan papan tulis dan kapur; dan pada papan tulis tersebut, anak diberi kebebasan untuk menggambar garis, lingkaran, bentuk-bentuk geometri, angka, dan sebagainya. Aktivitas tersebut dapat melibatkan motorik kasar dan halus. Kegunaan aktivitas ini adalah untuk mematangkan motorik kasar, motorik halus, dan koordinasi mata-tangan yang merupakan keterampilan prasyarat dalam belajar menulis.
2) Bahan-bahan lain untuk latihan gerakan menulis. Selain papan tulis, ada bahan-bahan lain yang dapat digunakan untuk melatih gerakan menulis, yang mencakup motorik kasar maupun motorik halus. Bahan-bahan tersebut antara lain adalah kertas yang ditempel pada papan atau dengan menggunakan bak pasir. Pada kertas atau bak pasir tersebut, anak dapat berlatih membuat angka, huruf, atau bentuk-bentuk geometri. Tujuannya yaitu melatih gerakan menulis yang erat kaitannya dengan kematangan motorik halus dan koordinasi mata-tangan.
3) Posisi. Untuk latihan menulis, anak hendaknya disediakan kursi yang nyaman dan meja yang cukup berat agar tidak mudah goyang. Kedua tangan anak diletakkan di atas meja, tangan yang satu untuk menulis dan tangan yang lain untuk memegang kertas bagian atas.
4) Kertas. Posisi kertas untuk menulis cetak sejajar dengan sisi meja, untuk menulis tulisan sambung 60 derajat ke kiri bagi anak yang menggunakan tangan kanan, dan 60 derajat ke kanan bagi anak yang menggunakan tangan kiri atau kidal.
5) Memegang pensil. Banyak anak berkesulitan belajar menulis yang memegang pensil dengan cara yang tidak benar. Untuk memegang pensil yang benar, ibu jari dan telunjuk di atas pensil, sedangkan jari tengah berada di bawah pensil, dan pensil dipegang agak sedikit di atas bagian yang diraut.
6) Kertas Stensil dan Karton. Kepada anak diberikan kertas stensil yang sudah digambari berbagai bentuk. Letakkan kertas polos di atas meja, letakkan karbon di atasnya, dan kemudian letakkan kertas stensil bergambar di atas karbon tersebut, diklip dan selanjutnya anak diminta untuk mengikuti gambar dalam pensil.
7) Menjiplak. Buat bentuk atau tulisan dengan warna hitam tebal di atas kertas yang agak tebal, letakkan di atasnya selembar kertas tipis, dan suruh anak menjiplak bentuk atau tulisan tersebut.
8) Menggambar di antara dua garis. Kepada anak diberikan selembar kertas bergaris dan anak diminta membuat “jalan” yang mengikuti atau memotong garis-garis tersebut. Selanjutnya, anak diminta menulis berbagai angka dan huruf di antara garis-garis secara tepat.
9) Titik-titik. Guru membuat dua jenis huruf, huruf yang utuh dan huruf yang terbuat dari titik-titik. Selanjutnya, anak diminta untuk menghubungkan titik-titik tersebut menjadi huruf yang utuh.
10) Menjiplak dengan semakin dikurangi. Pada mulanya guru menulis huruf utuh dan anak diminta untuk menjiplak huruf tersebut. Lama kelamaan guru yang menulis sebagian besar hingga sebagian kecil huruf tersebut dan anak diminta untuk meneruskan penulisan.
11) Buku bergaris tiga. Buku bergaris tiga sering disebut juga buku tipis tebal. Dengan buku bergaris semacam itu, anak dapat berlatih membuat dan meletakkan huruf-huruf secara benar. Garis dapat diberi warna yang mencolok untuk meningkatkan perhatian anak.
b. Remedial Mengeja
Ada beberapa metode pengajaran remedial bagi anak berkesulitan belajar mengeja, yakni sebagai berikut:
1) Persepsi dan Memori Auditoris bunyi-bunyi huruf. Berikan kepada anak latihan untuk mendengarkan bunyi-bunyi huruf, berikan penekanan pada pengetahuan tentang bunyi-bunyi bahasa dan analisis susunannya, dan kembangkan pula keterampilan untuk menggunakan bunyi-bunyi bahasa secara umum.
2) Persepsi dan memori visual huruf-huruf. Berikan kepada anak latihan persepsi dan memori visual huruf-huruf sehingga anak-anak dapat mengenal dan mengingat bentuk-bentuk huruf tersebut.
3) Penggunaan Metode Multisensori, yang meliputi penggunaan cara-cara seperti: (a) mengartikan dan mengucapkan; (b) mengkhayalkan; (c) mengingat kembali; (d) menganalisis kata; (d) menguasai.
4) Metode Fernald, merupakan pendekatan multisensori untuk mengajar membaca, menulis, dan mengeja.
5) Metode “tes – belajar – tes” lawan metode “belajar – tes”. Metode “tes – belajar – tes”, dimulai dengan memberikan tes awal untuk mengetahui kemampuan anak, setelah itu anak diajar, dan kemudian dites lagi. Sedangkan metode “belajar – tes” dimulai dari mengajarkan kata lebih dahulu baru kemudian melakukan tes untuk mengetahui penguasaan anak.
6) Mengeja kata dari proyektor film strip. Guru menulis kata-kata yang akan dieja pada transparansi. Kata-kata tersebut selanjutnya diletakkan di atas OHP dan ditutup dengan kertas yang memiliki “jendela” yang dapat dibuka dan ditutup.
7) Mengeja melalui tape recorder. Pengajaran mengeja dapat dilakukan dengan menggunakan tape recorder. Anak yang sudah dapat belajar sendiri, dapat melakukannya di laboratorium bahasa.
8) Menirukan kesalahan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengulang kesalahan anak sebelum memperbaiki-nya dapat memberikan keuntungan kepada anak. Melalui metode ini, anak disadarkan dari kesalahannya, baru kemudian diperbaiki. Dengan demikian, anak dapat membedakan antara respons yang salah dengan respons yang benar.
c. Remedial Menulis Ekspresif
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan remedial pembelajaran kesulitan menulis ekspresif, sebagai berikut:
1) Memberikan kesempatan kepada anak untuk banyak menulis.
2) Menempatkan anak dalam suasana kehidupan yang gemar menulis.
3) Biarkan anak memilih topik tulisannya sendiri.
4) Model penulisan dan berpikir yang strategis.
5) Mengembangkan berpikir reflektif.
6) Transfer kepemilikan dan kontrol penulisan siswa.

 

CIRI-CIRI KESULITAN BELAJAR

Pernahkah kita mendengar berbagai keluhan dari rekan kerja atau orang tua tentang anak yang memiliki nilai di bawah rata-rata atau tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik? Apa yang ada di benak kita saat mendengar hal tersebut? Dugaan awal biasanya mungkin IQnya rendah atau malas. Sebenarnya banyak hal yang mungkin terjadi pada anak didik apabila mereka memiliki pencapaian akademik yang rendah.
Hampir di setiap sekolah memiliki siswa yang mengalami kesulitan belajar. Berbagai label sering terucapkan kepada siswa yang tidak bisa memenuhi standar yang diinginkan oleh guru atau sekolah. Perlukah kita melihat lebih jauh apa yang menjadi faktor kendalanya?


Faktor kesulitan belajar tersebut adalah:
  • adanya hambatan belajar secara fisik, lingkungan, genetis, penyakit ataupun pola asuh keluarga
  • metode pembelajaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan belajarnya
  • gaya belajar siswa yang unik
Kendala di atas dapat diantisipasi apabila kita mengetahui ciri-ciri kesulitan belajar yang dialami oleh siswa seperti berikut ini:
1. Gangguan persepsi visual:
  • melihat huruf/angka dengan posisi yang berbeda dari yang tertulis, sehingga seringkali terbalik dalam menuliskan kembali
  • sering tertinggal huruf dalam menulis
  • menuliskan kata dengan urutan yang salah misalnya ibu jadi ubi
  • sulit memahami kanan dan kiri
  • bingung membedakan antara obyek dengan latar belakang
  • sulit mengkoordinasi antara mata (penglihatan) dengan tindakan (tangan, kaki, dan lain-lain)
2. Gangguan persepsi auditori
  • sulit membedakan bunyi: menangkap secara berbeda apa yang didengarnya
  • sulit memahami perintah teruteama perintah yang diberikan dalam jumlah banyak dan kalimat yang panjang
  • bingung dan kacau dengan bunyi yang datang dari berbagai penjuru sehingga sulit mengikuti diskusi karena saat mencoba mendengar sebuah informasi sudah mendapatkan gangguan dari suara lain di sekitarnya

3. Gangguan bahasa
  • sulit menangkap dan memahami kalimat yang dikatakan kepadanya
  • sulit mengkoordinasikan/mengatakan apa yang sedang dipikirkan

4. Gangguan persepsi -motorik
  • kesulitan motorik halus (sulit mewarnai, menggunting, melipat, menempel, menulis rapi, memotong, dll )
  • memiliki masalah dalam koordinasi dan disorientasi yang mengakibatkan canggung dan kaku dalam eraknya
5. Hiperaktivitas
  • sukar mengontrol aktivitas motorik dan selalu bergerak/menggerakkan sesuatu (tidak bisa diam)
  • berpindah-pindah dari satu tugas ke tugas berikutnya tanpa menyelesaikan terlebih dahulu
  • impulsif
6. Kacau (distractibility)
  • tidak dapat membedakan stimulus yang penting dan tidak penting
  • tidak teratur, karena tidak memiliki urutan-urutan dalam proses berpikir
  • perhatiannya sering berbeda dengan apa yang sedang dikerjakan (melamun/berhayal saat belajar di kelas)
Bila kita menemukan anak didik yang memiliki ciri seperti di atas, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah:
  • berkoordinasi dengan orang tua agar melakukan konsultasi sengan psikolog/terapis/dokter
  • melakukan perubahan strategi pengajaran disesuaikan kebutuhannya

Mengatasi problematika Anak Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar yaitu kesukaran yang dialami siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran dan informasi yang diberikan. Penyebab kesulitan belajar dipengaruhi dua faktor:
1. faktor internal menyangkut intelektual, faktor afeksi seperti: kurangnya minat, motivasi, atau belum matang untuk belajar.
2. faktor eksternal semua yang menyangkut kondisi KBM seperti guru dan teman-teman keluarga.

Kesulitan-kesulitan belajar meliputi
a. Rendahnya kemampuan intekektual siswa
b. Gangguan-gangguan perasaan
c. Kurangnya motivasi
d. Kurangnya kematangan untuk belajar
e. Latar belakang sosial yang kurang menunjang
f. Kebiasaan belajar yang kurang baik
g. Kemampuan mengingat yang lemah
h. Terganggunya alat indra
i. Proses KBM yang tidak sesuai
j. Tidak ada dukungan dari lingkungan belajar


Cara mengatasi
Usaha yang dilakukan yaitu dengan memeriksa terhadap gejala-gejala kesulitan kemudian diakhiri dengan usaha perbaikan, yaitu melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. mengidentifikasi kesulitan
Yaitu guru dapat menggunakan postest catatan perilaku siswa yang menyimpang selama dua atau tiga kali pertemuan.
2. Menelaah atau menetapkan status siswa
Yaitu menetapkan jenis atau kesulitan yang dialami siswa
3. memperkirakan sebab terjadinya kesulitan
4. mengadakan perbaikan melalui pendekatan psikologis didaktis yaitu:
a. siswa yang untuk diperbaiki sudah menyadari kesulitan yang dialami.
b. siswa yakin bahwa kesulitan itu dapat diatasi.
c. membimbing siswa untuk mengadakan perbaikan sesuai sebab kesulitan yang dialami.

Belajar merupakan proses perubahan yang mengarah kepada sesuatu yang lebih baik. Belajar dipengaruhi oleh pembiasaan dan kematangan dalam belajar, setiap siswa mempunyai gaya masing-masing. Dengan mengetahui gaya belajar itu guru dapat lebih memahami kondisi siswa.
Menjadi hal yang umum, bila ada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Kesulitan ini dapat berupa kesulitan dalam menerima atau menyerap informasi yang penyebabnya berasal dari dalam diri siswa atau dari lingkungannya.
-6.903503 107.668334

Tidak ada komentar:

Posting Komentar